Oleh Themmy Doaly*
Saya coba bertanya pada ChatGPT tentang arti dari diet plastik. Dia bilang, diet plastik adalah “istilah yang digunakan untuk menggambarkan upaya individu dalam mengurangi konsumsi atau penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari”.
Lalu, saya kembali bertanya-tanya, apa sih pentingnya diet plastik? Apakah penggunaan plastik sama berbahayanya dengan obesitas? – saya tidak merujuk aspek fisik, tentu saja, namun lebih pada kesehatan.
Data Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OCED), memberi jawaban ringkas tentang itu. Menurut mereka, sejak awal produksinya, plastik telah memiliki masalah. Sebab, 93% plastik saat ini diproduksi menggunakan bahan bakar fosil, di mana 6% terbuat dari daur ulang dan sisanya plastik berbasis biomassa.
Sejak tahap produksi, konversi dan pengelolaan limbah plastik menghasilkan sekitar 4% emisi gas rumah kaca (GRK). Dari jumlah tersebut, 90% dapat dikaitkan dengan tahap produksi dan konversi dalam siklus plastik.
Praktik pengelolaan limbah juga memengaruhi intensitas GRK melalui perlakuan akhir masa pakai plastik. Pada tahun 2019, emisi dari pembakaran menyumbang 70% dari total emisi akhir masa pakai, sementara daur ulang menyumbang 22%. Daur ulang plastik dapat mengurangi emisi GRK dengan mengurangi permintaan plastik primer yang memiliki jejak karbon yang lebih tinggi.
Di Indonesia sendiri, mengacu data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) total timbulan sampah di Indonesia hingga akhir 2022 sebesar 24,11 juta ton, yang didominasi sampah sisa makanan (41,69%) plastik (18,04%), kayu atau ranting (13,39%) dan kertas atau karton (11,06%). Dengan sampah rumah tangga sebagai sumber terbesar (38,48%).
Sialnya, 50% sampah plastik yang tidak terolah di darat harus berakhir ke laut. Sesuai data World Population Review, Indonesia berkontribusi 56.333 ton pencemaran sampah plastik di laut (menempatkan Indonesia di peringkat 5 teratas).
Namun menurut Kusdiantoro, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, akumulasi sampah yang masuk ke laut Indonesia diperkirakan lebih dari 500 ribu ton. Letak geografis di antara Samudra Hindia dan Pasifik, diduga turut membuat sampah dari negara-negara lain masuk ke laut Indonesia.
Saya bayangkan catatan-catatan tadi, dan memahami nyaris tidak ada tempat aman dari polusi plastik dan limbah-limbahnya. Darat, laut dan udara telah tercemar oleh plastik. Sebab, sampah plastik melepaskan bahan kimia berbahaya ke dalam tanah dan air, atau pecah menjadi potongan-potongan kecil yang dimakan oleh binatang, di darat, laut maupun udara.
Dari sini saya mengerti, diet plastik merupakan salah satu gerakan penting untuk penyelamatan bumi. Ini juga sejalan dengan Outlook Plastik Global OECD, yang dalam skenario ambisi globalnya, berkeinginan meminimalkan pencemaran plastik ke lingkungan dan juga mengurangi emisi GRK siklus hidup plastik sebesar 50% pada tahun 2060.
Bedanya, bagi OECD, penurunan itu dapat dicapai melalui tingkat produksi plastik yang lebih rendah dan lebih tingginya porsi plastik sekunder (daur ulang), yang memiliki emisi lebih rendah dibanding plastik primer. Dalam skenario ini, limbah plastik yang tidak terkelola dengan baik, yang merupakan sumber utama pencemaran plastik, menurun sebesar 96%, sehingga mengakibatkan penurunan pencemaran plastik sebesar 98% ke lingkungan perairan.
Kemudian, skenario mitigasi iklim bertujuan mengurangi emisi GRK global sekitar sepertiga pada tahun 2060. Dalam skenario ini emisi GRK siklus hidup plastik diharapkan mengalami penurunan 31% karena adanya peralihan sumber energi yang lebih rendah emisi karbon yang digunakan dalam produksi plastik, sementara limbah plastik yang tidak terkelola dengan baik yang merupakan sumber utama pencemaran plastik, menurun sebesar 3%.
Diet plastik menjadi langkah penting sejauh teknologi pengelolaan belum bisa benar-benar memutus akar masalah – karena 90% emisi GRK yang ditimbulkannya dapat dikaitkan dengan tahap produksi dan konversi dalam siklus plastik. Apalagi, dalam pengelolaan akhirnya, masih bertumpu pada teknologi pembakaran.
Gerakan Pemuda
Saya senang ketika mengetahui bahwa pengusung gerakan diet plastik ini adalah anak-anak muda. Sebagai generasi yang akan mewarisi masa depan bumi, kita memang harus melepas eco-anxiety menjadi aksi-aksi penyelamatan bumi, sambil juga menuntut kebijakan-kebijakan yang lebih ambisius – karena pendeknya tenggat waktu penyelamatan bumi dari krisis iklim.
Sebagai sebuah edukasi, diet plastik, saya kira semakin memperkuat kesadaran lingkungan generasi muda Indonesia, yang jika merujuk riset Yayasan Cerah dan Indikator, Gen-Z dan milenial diketahui memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan isu perubahan atau krisis iklim.
Kerusakan lingkungan (82%) dan polusi (74%) merupakan dua isu utama yang menjadi kekhawatiran responden terkait isu perubahan ataupun krisis iklim. Menariknya lagi, nyaris tidak ditemukan responden yang secara langsung menjawab bahwa perubahan iklim adalah berita bohong (hoax) dan teori konspirasi.
Sedangkan, isu lingkungan yang paling penting menurut mereka didominasi oleh masalah sampah (62%), polusi udara (46%), dan pencemaran sungai, danau, dan air tanah (41%).
Meski demikian, kecenderungan ini terutama lebih terlihat di kalangan perempuan, Gen-Z (17-26 tahun), tingkat pendidikan dan pendapatan tinggi, dan dari kalangan pekerja pegawai swasta/profesional, serta berdomisili di perkotaan di pulau Jawa, Bali, dan Sumatera.
Kita – saya dan kalian – memang pantas bertindak dan bersuara untuk masa depan yang lebih baik – karena di semesta itulah nantinya kita hidup sebagai orang tua, dan menerima banyak pertanyaan dari anak-anak kita.
Tentang ini, saya jadi ingat prinsip reciprocity yang ditulis Jostein Gaarder dalam Novel Dunia Anna: perlakukan generasi selanjutnya seperti kita ingin generasi sebelum kita memperlakukan kita. Baginya, kita yang hidup di hari ini sedang berhutang pada mereka yang hidup di masa mendatang.
Dalam artian, kita sudah pasti memberi penjelasan-penjelasan pada generasi mendatang tentang baik-buruknya keadaan. Jika kondisi bumi menjadi lebih baik, kita bisa bilang pada mereka bahwa kita telah melaksanakan tanggung jawab yang semestinya.
Namun, jika suhu bumi telah melewati 1,5°C dan laut dipenuhi genangan sampah, kita bisa meminjam mulut Nyai Ontosoroh pada Minke, “Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
* Disampaikan dalam Mini Conference Diet Plastik. Anggota bidang Kerjasama dan Hubungan Antar Lembaga the Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ).